Sebuah kisah yang mengharukan...
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
----------
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
[Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times]
Home »
Cerita Menarik
» Aku Menangis untuk Adikku
Aku Menangis untuk Adikku
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
jujur mbak..saya menangis baca artikel ini..bgetu sayang nya seorang adik kepada kaka nya..saya inget dengan adik saya satu satu nya..yang bgetu saya sayangi..sampe kapan pun aku akan tetap menyayangi adiku..walaupun kami jauh..karna saya bekerja dmi sekolah dia..sampe dia harus kuliah..n menjadi dokter cita cita nya..
BalasHapus............
BalasHapusSaling menjaga dan menyayangi ...
Jadi ingat sama saudara ... semoga kebahagian selalu bersamanya..
Postingannya menyentuh sekali mbak...
Cerita yang sangat menyentuh...
BalasHapusTrims atas ceritanya, semoga suksess n tetap semangat
begitu indahnya hubungan persaudaraan ini...hingga aku sebagai pembaca saja tak kuat menahan airmata ini...
BalasHapuskisah ini memang menyentuh banget mbak... membuat orang yang membacanya jadi menangis dan mendapat begitu banyak pelajaran hidup darinya... thanks ya mbak...
BalasHapusMau bilang apa ya...benar2x cerita yang mengharukan dan patut diambil hikmahnya...sukses mbak
BalasHapuswah menyentuh banget nih caritanya,,,
BalasHapusjadi mengusap mata nih,,,
banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari "true story" ini,tentang hidup,cinta,perjuangan,membuat semua yang baca ini larut,dengan bahasa yang mengalir indah dan mudah dicerna
BalasHapussukses ya mba..
sungguh mengharukan ceritanya... hikzzzz
BalasHapussaya hidup terlahir sebagai seorang kakak..
BalasHapusmenyentuh sekalii,,
Said, Jgn Lah Kau tangisi Agilmoe, Bahagiakan dia Beri aja Ice Cream...
BalasHapusTerharu nih...
BalasHapusJadi ingat lagu,"He ain't heavy, he's my brother..."
salam sobat
BalasHapussalut begitu besar kasih sayang kakak dengan adiknya.
pantas diteladani.
merindingaku membacanya
BalasHapus>>>"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."<<<
BalasHapusterharu saya...
padahal saat ditanya siapa yg ngambil uang, gak ada yg ngaku...
malah di pukulin dua2nya.
si adik gtw apa, tp kena imbas...
Aduww.. terharu saya,,
Kebesaran jiwa dapat dilihat dr kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan
BalasHapusSebagai lelaki membaca kisah ini saya jadi cengeng, kisah yang benar mengharukan, keluarga yang penuh kasih sayang, bila ini kisah nyata anda, jagalah sebaik-baiknya adik anda ini!
BalasHapuspersaudaraan adalah segalanya............
BalasHapusaq terharu membacanya......
jgn ada dusta di antara kiata............
Cerita ini Sungguh sangat,,sangat,,sangat menyentuh,, :(
BalasHapusSmoga Cerita ini dapat menjadi sebuah Renungan bagi kita semua.
Senang nya mempunyai kakak seperti dirimu :(
BalasHapusthanks ya bro n sis atas komennya.. jgn sungkan tuk ksh komen lg dipostinganku yg lain ya..
BalasHapusBu Lina, kisah ini sungguh mengharukan. Hidup terkadang memang harus melalui banyak rintangan dan hambatan. Namun saya yakin dengan segala kekuatan dan tekad yang ada, semua rintangan itu pasti terlewati. Sebelumnya, salam kenal dan salam hagat buat Bu Marlina dan Keluarga. Semoga kabarnya sehat dan baik-baik selalu. Sukses ya Bu..
BalasHapusceritanya betul2 mengharukan mba. saya jadi berpikir, perbuatan baik apa yg tlah sy lakukan buat kluarg, tman, dan org2 yg sy cntai... sprtinya blum bisa stulus crita trsbut.....
BalasHapusbtw maaf mba, tadinya mau ngsih tau script buat "top komentator", eh kayaknya dah ada tuh... hehe. sy skrang soalnya trkdang bikin artikel pesanan, so jrng blogwalking... makasih ya mba ceritanya ...
SANGAT MENYENTUH !!!!, sangat tulus. gimana ya caranya jadi tulus gitu. Arya kagum banget.
BalasHapusbagus sekali, banyak hikmah dan makna dari sebuah persaudaraan
BalasHapusAdik...aku kangen sama kamu...sungguh...
BalasHapus"menyentuh, penuh perasaan..."
BalasHapus- Kakve-santi.blogspot.com
Cerita ini sudah aku baca juga di sahabat Gustihana.blogspot.com tapi baca di sini juga masih tetap terharu.....mantab dech...
BalasHapusaku uda baca ni cerita..
BalasHapusmemag crita yg menyentuh..
T_T
smoga bsa memotivasi kita untuk jau lebih baek lagi..
^_^
..................
BalasHapustak bisa ngomong apa2 lagi!
BalasHapussaya seorang adik, dari kakak yang luarbiasa....
BalasHapushangat sekali! saya sering2 berkunjung nh. Benar2 oase